Rembulan Berubah Warna

Sekian lama aku menapaki kehidupan saatnyalah aku melepas semua idealismeku. Baru memang, tapi aku akan terus berusaha untuk mengikuti kepastian umum.

Hari itu di kamar kontrakkanku aku termenung. Televisi menyala begitu saja tanpa kuhiraukan. Air soda yang baru saja aku beli mungkin sudah tak sesegar pertama dibuka. Makanan kacang polong dan kripik pisang sudah tak sabar menunggu si tuan untuk melahabnya. Aku terperanjat dalam lamunanku. Aku mengibas-ibas kenangan cintaku dengan beberapa wanita. Aku terkadang melongo sendiri tanpa menghiraukan apapun disekitarku. Aku sendiri dalam kontrakkan itu.

“Aku benci dengan dia, dia yang terlalu materialistik, dia yang terlalu mengikuti kemauan orang tuannya, cintaku tak kuat menerjang prahara hatinya,” batinku bergemih.
Aku sedikit demi sedikit mulai membenci cinta. Dia yang sebenarnya sangat aku harapkan dan cintai untuk menjadi kekasih hatiku, mendampingi hidupku tidak bisa menyelesaikan cinta bersamaku. Aku terlawan oleh egoku, dia terlawan dengan egonya. Say good bye.

Semenjak saat itu juga aku berusaha untuk mengalihkan segala macam rasa cinta yang telah tertusuk oleh keinginanya yang tak tersolusikan. Aku terhanyut dalam kelombang cinta yang menghempaskan terpental jauh di sebuah pulau nan sepi dan tak berirama. Aku sepi.
Ternyata kesepian itu akan terjawab????
Tanda tanya empat diatas, akan terjawab. Ya akan terjawab.
Hatiku kini sepi, tapi aku bahagia. Aku bahagia bisa melakukan apa saja. Aku bahagia dalam sepi, sendiri bersama malam-malam tunggal yang menemaniku.
Kisah lama itu akan menjadi jawaban isi hatiku.

Aku menikah, bukan dengan dia. Tapi dengan gadis satu kantor yang aku sukai sekedarnya saja. Aku sama sekali tidak mengejar-ngejarnya aku hanya berusaha mengikuti tradisi orang untuk menikah, dan dia, orang yang aku cinta akan tetap pergi untuk selamanya. Tolong bantu aku menghapus kenangan itu.

Bisa,!!! Tapi tak semuanya bisa ter-delete dengan baik. Tanpa aku memandang ke depan, pasti aku teringat. Dan kupertaruhkan diriku untuk melupakannya. Kecewa, siapa yang tidak kecewa dengan kekasih yang selama ini dicintai ternyata hanya separuh penurut kepada calon kepala keluarganya. Bukan dia tapi dibalik dia yang menghasut.

Pesta itu berlangsung meriah, sumringah dan penuh canda tawa. Bisik-bisik tetangga dan banyak dugaan-dugaan tentang kisah rumah tangga anak yang baru menyelesaikan masa lajangnya. Pasti berbeda dan bahkan temanku berbisik, “ selamat menempuh hidup baru, episode baru hidup yang sebenarnya akan dimulai dari sini.”
Aku tak tahu apa maksudnya. Aku hanya berpikiran bahwa menikah itu enak bersatu, menjalani adat istiadat dan mengikuti ajaran sunnah Rasul. Pastilah mereka-mereka mendoakan kebaikan. Namun kepastiannya banyak juga rumah tangga yang tak sinkron.

Aku mulai babak baru episode kehidupanku tanpa dia, orang yang aku cintai.
Biarkan aku merasakan madunya dulu baru kau taruh racun dan semoga aku tak berniat untuk meminumnya. Pengantin baru, bisa menjadi dua sisi yang sama sekali berbeda. Kutahu rumah tangga jika terus berjalan akan semakin lama semakin membosankan.
Tak seperti masa lajangku. Kalau aku suruh menjawab, pilih mana masa lajang atau pra pernikahan? Aku pilih yang pertama. Aku pilih karena beban itu semauku, ukuran besar atau kecil beban aku yang mengatur. Tapi berdua, apalagi dengan orang yang tak kita cintai benar, bikin pusing kepala, bikin badan panas dingin. Biar rerumputan dan bebatuan yang mengamini setiap doa-doa pernikahan.
Hatiku kecut ketika bertemu dengan sikap-sikap pasanganku tak sepadan dengan diriku. Senilai dengan isi kepalaku. Aku memilih memperbaiki rumah tangga, dia memilih mengacaukan rumah tangga. Sempat aku berpikir untuk mencari penggantinya. Terlanjur basah ya sudah basah kuyup sekalian.

Kebebsanku terenggu oleh cemburunya seiring dengan pundi-pundi uangku yang terus diliriknya. Aku selalu terpantau kamera seorang istri yang tak memperdulikan orang lain, yang penting dirinya senang itu yang dia mau, jika dia tidak senang dan tidak puas aku yang jadi bulan-bulanan. “Oh, apakah itu yang disebut terima kasih cinta yang sering dinyayikan penyanyi terkenal itu.” Pikirku lirih dan iba.
Aku mencari makna cinta, tapi tak ketemu. Aku mencari diriku sendiri belum juga kudapat. Aku ingin tanpa dia. Kembali melajang seperti dahulu. Aku ingin seperti burung terbang bebas dan pulang dengan perut kenyang. Itu keinginanku setelah perhelatan, hiburan adat dan bunga-bunga serta roti buaya menjadi saksi bisu kedekatanku dengan sosok yang sama sekali bukan banget.
Pernikahan itu absurb. Lebih parah lagi jika kita bersungguh-sunggu untuk berbuat baik tapi apa yang kita dapatkan terhadap pasangan kita tak sesempurna yang ada dibenak kita, sakit hatikah kita. Keikhlasan rupanya mulai teruji.

Aku terus mencari nilai-nilai diriku. Kuukir dinding-dinding derita itu dengan tinta kesabaran dan kutemukan makna diri. Aku hamba Tuhan.
Kudoakan orang-orang yang aku cintai. Hingga suatu ketika…
Anak aku ingin memiliki anak. Barangkali Tuhan sudah mengatur semuanya untuk aku arungi. Aku memohon dan terus berusaha untuk mendapatkan hasil dari pernikahanku. La iya, wong aku menikah pakai modal, aku ingin mendapatkan hasil dari pernikahan itu, yakni anak. Penerus diriku kelak.
Aku ingin anak laki-laki, Allah Kabul, Alhamdulillah. Selebihnya aku menghadapi manusia yang tak mengerti aku. Pasanganku sendiri. “terima kasih cinta.”

“Apaan nikah itu enaknya pada saat begituan doing doa, selebihnya kaum hawa menuntut ini-itu dan sebagainya.”
“Kaum hawapun bilang, lho lelaki mau enaknya doing gak mau kasih ini-itu kepada istrinya yang telah rela mereka tiduri setiap malam-malam pabila mereka inginkan.”
Tragedi pernikahan layaknya saling tuding menuding. Aku tak biasa.
Lambat laun aku melihat kehidupan itu bak sebuah permainan.
Banyak pesan-pesan singkat yang aku terima tatkala masih pengantin baru;
“Kamu lebih tua pasti banyak negalahnya.” Kata Bella yang sudah punya nak dua.
“Kalau tidak sabar rumah tangga bubar lho.” Kata Pa Pur, pedagang kaki lima, tempat aku minum kopi.
“Perbedaan itu wajar Syahrul.” Kata Irwan yang rumah tangganya sedang gonjang ganjing.
“Kalau baru dua tahun menikah, wah rumah tangga sedang ramai-ramainya tuh oleh saling silang pendapat.” Dari artikel internet yang aku dapatkan.
“Apalagi kalau sudah punya anak pasti repot.” Kata ibu-ibu tetangga.
Wah banyak lagi ungkapan-ungkapan yang dilontarkan.
Aku hanya terdiam, sambil merasakan tragedi demi tragedi.
Bahkan aku sendiri beranggapan bahwa menikah itu pengekangan, bukan gue banget…

Hari terus berlalu, sang surya timbul tenggelam. Siang terus menerus berganti malam, aku terdiam dalam lamunan sejenak.
Sikap apa yang harus aku ambil. Aku banyak tertipu oleh sosok wanita, bahkan aku beranggapan apakah wanita itu tukang tipu. Apakah wanita itu lebih cerdik dari pada maling. Wah-wah sampai segitunya. Maaf yah…
Dan bahkan Nabi Adam sendiri telah tergoda oleh keinginan Siti Hawa untuk memakan buah khuldi… sejarah membuktikan betapa tertipunya wanita oleh syetan dan laki-laki oleh wanita. Dan Aku terus berpikir. Satu hari, dua hari, tiga hari dan terus kucari…
Ku temukan bahwa tak perlu terlalu serius dalam berumah tangga, easy going bahkan semua sudah ada yang mengatur… Wanita memang untuk berdampingan dengan laki-laki. Sunahtullah it’s true…





Leave a Reply.

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    February 2013

    Categories

    All