Getar Tuhan Ataukah Getar Cinta?

Sesejuk angin malam yang membelai lembut diriku yang tengah melangkah pulang dari surau. Kurasakan indahnya kasih yang diberikan tuhan, kuberjalan diantara barisan para mujahidah modern akhwat tangguh yang berhasil menaklukkan serangan nafsu di zaman nestapa ini. Aku Adel, Allina Qonita Adellia.. siswi kelas IX Madrasah Ats-Tsanawiyah yang ingin menjadi satu dari mujahidah masa kini. ^_^

Raut wajah yang tak senada dengan semangat membara menghiasi wajah teduh saudara seimanku, Husna. Terlihat kebimbangan yang tengah ia rasakan, ku coba mendekatinya.
“Ukh, antum kenapa? Ada masalah?” tanyaku sambil merangkulnya.
“Tidak ada apa – apa koq,.!” Sambil pamit dan berlalu.

Sesampaiku di rumah Ummi dan Ayah tak ada, hanya adikku Elin yang tengah menonton televisi sambil makan cemilan pisang goreng. Hidayah, salah satu acara di stasiun tv swasta yang menarik perhatianku untuk menontonnya, tapi entah.. aku tak nikmat menotonnya, kupikir perasaanku tengah tidak tenang.

Ku masuk ke kamarku, kuraih ponsel yang tengah rebahan diatas meja belajar. Kuputar musik untuk menenangkan sejenak kemelut yang tengah menggelayut sehingga perasaanku tak tenang.

Look around yourself, can’t you see this wonder spread in front of you
The cloud’s floating by the sky is a clear and blue
Planet in the orbit, the moon and the sun, such perfect harmony
Let’s start question in our self is in this proof enough for us?

Lagu dari artis baru Maher Zain, menemani malam indahku itu hingga aku terpejam, menari bersama mimpi–mimpi dalam dunia yang tak dapat kudefinisikan. Malam yang semakin larut selarut aku bersama mimpi indahku.
Tralala.. trilili.. tralala.. trilili..! ponselku berdering lama sekali mendendangkan salah satu lagu haraki. Pukul 2.30 WITA.

Unknown number is calling, tertera pada layar LCD ponselku. Kuangkat dengan malasnya.
“Assalamu’alaikum, Halo! siapa sih?!” aku yang agak ketus.
“Wa’alaikumussalam.. bangun Ukhty! Ukhty gak mau shalat malam?”
Jreng jeng.. jeng! Suara lembut nan teduh seorang ikhwan (Laki – laki) menyapa di sepertiga malam terakhir, seketika rasa sebal pun melayang.
“Iya sih, masih ngantuk nih..!” jawabku yang masih keliengan.
“Jangan malas gitu Ukhty.. bla..bla..bla..” Akupun akhirnya sadar berkat bujukan penuh perhatian dari Ikhwan yang entah aku tak tau siapa.
“Iya, insya’Allah setegah jam lagi ya banguninnya!”

Tepat setengah jam kemudian, ponselku berdering lagi. Tentu saja laki–laki barusan yang menelpon, dan entah kenapa aku bangun dengan perasaan yang tiada kesal lagi. Entah aku merasa ada kebahagiaan ajaib yang menjalari hati.
Penelpon itu mengaku bernama Khalid, ngkunya dia Mahasiswa STIT Nurul Hakim Kediri temannya Ummi. Walaupun aku tak bisa mengingatnya, ya.. temen Ummi kan banyak banget! Tapi biarlah, mungkin ini indahnya ukuwah. Setelah itu, selalu ada dering istimewa datang menyapa di setiap sepertiga malam terakhir.

Hal yang berlangsung ini segera ku konfirmasikan pada Ummi.
“Ummi, tadi malam temennya Ummi yang bernama Mas Khalid menelpon, tengah malam pula!”
“Oh ya! Khalid yang mana ya?”
“Mas Khalid temennya Ummi yang kuliah di STIT Nurul Hakim itu lho!”
“Oh yang itu!..”
Ummi mulai menjelaskan secara rinci siapa yang bernama mas Khalid itu. Dia adalah mahasiswa STIT Nurul Hakim Kediri Lombok Barat yang awalnya pengen sekolah di Madrasah As-Shaulatiyah di Makkah Al- Mukarromah. Mahasiswa Tarbiyah yang terkenal innocent dan sangat supel. Kata Ummi, Mas Khalid itu salah satu ustad favorit dikalangan masyarakat umumnya, saingannya para ikhwan dan menjadi selebriti dikalangan para akhwat. Sebegitu sempurnanya Mas Khalid dimata Ummi.
Satu minggu sudah chatting-anku dengan Mas Khalid, buatku chatting yang bermakna. Bukan hanya sekedar Qiyamullail, tapi Mas Khalid sering memberikan nasihat, saran dan beberapa perhatian lainnya.

Sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Dian untuk mengambil perlengkapan diacara syuro di sekolah tiga hari lagi, karena kebetulan aku dan Dian adalah salah satu panitia Syuro.
“Dian, Artikel apaan ni..?” tanyaku yang tengah mengambil beberapa lembar artikel dari mejanya yang telah ku obrak–abrik.
“Itu lho, artikel tentang Izzah dan Iffah, bahan pidatoku jum’at kemarin.” jawabnya jelas.
Setelah semuanya beres, aku pamit pulang. Di perjalanan pulang, perasaanku tidak tenang. Dan di rumah…
“Assalamu’alaikum.. !” sapaku sambil masuk kedalam rumah.
“Wa’alaikumussalam..” jawab seisi rumah tanpa dikomando.
Tara.. seorang ikhwan yang tengah duduk tenang di sofa bersama Ayah dan Ummi. Ya, tak lain dan tak bukan ikhwan itu adalah Mas Khalid, aku tersipu saat Mas Khalid melontarkan senyum simpulnya kearahku. Astagfirullahaladzim, lirihku sambil menundukkan kembali pandanganku.

Sebelum hari menjelang sore, Mas Khalid pamit undur diri. Setelah bersalaman dengan Ayah dan Ummi juga Aku dan Elin, Mas Khalid keluar dan berlalu bersama bayang dan juga sepeda motor Legenda 2 Classic miliknya. Terus kupandangi Mas Khalid yang berlalu hingga Mas Khalid hilang di ujung jalan.
Selepas Maghrib, Dian mengirim pesan singkat atau SMS.
‘Ukh, besk Qta ke rmhnya Ustad Imron nganter Undangan,.” Kubalas,
‘Ya, pulang sekolah kita ke sana.’

Dan siang pulang sekolah, aku dan Dian pergi ke rumah ustad Imron. Kami naik angkutan umum agar tidak terlalu kepanasan terkena sinar matahari. Di dalam angkutan ada dua orang ikhwan dan tiga orang akhwat dan juga seorang wanita bercadar dengan abaya ungu yang membuatnya terlihat anggun.
Tiga orang akhwat yang kira – kira seusiaku terus saja bersendau gurau sepanjang jalan. Sepertinya mereka tidak malu bercanda di dekat para ikhwan. Dian yang mengelus dada, mereka pelototi dalam–dalam, rasanya mereka tidak senang akan hal itu. Tuhan.. apakah sudah tidak ada getaran iman di dalam diri seorang akhwat? Pertanyaan itu muncul seiring mata memandang tingkah mereka.

Aku dan Dian saling berbisik, mengapa wanita sekarang malah tidak begitu peduli terhadap Iffah dan Izzah, padahal keduanya merupakan hal yang sangat berperan dalam membentuk pribadi dan sikap seorang wanita. Wanita bercadar itu memperhatikan kami dalam – dalam, dari matanya yang bening yang lama–kelamaan menyipit kurasa wanita itu tersenyum pada kami.
Udara yang panas berhembus menerpa wajah kami, terasa panas dan teriknya siang itu. Sudah terlihat rumah di seberang jalan yang kami tuju, ya itulah rumah ustad Imron.

Matahari mulai memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru alam memberikan kehangata pada setiap insan di muka bumi ini. Minggu pagi yang cerah, sama seperti pagi – pagi sebelumnya, orang – orang ramai di jalanan. Bedanya, pada hari–hari lain mereka berseragam rapi, terburu – terburu dan raut wajah yang gelisah karena dikejar waktu. Hanya di Minggu pagi terlihat wajah–wajah ceria dan santai yang sesekali mengusap peluh setelah berolahraga.
Yups, pukul 7.30 aku harus ke Sekolah untuk menyiapkan sett dan hal–hal yang lain untuk acara syuro dan kajian sore harinya.

Di sekolah aku sudah ditunggu oleh temn–teman panitia acara kajian dan syuro, Dian, Wati, Husna, Fitria, Abdul, Fadli, dan kawan–kawan. Dan yang tak ketinggalan adalah tugas dan kerjaan yang menanti. Rasanya hari ini akan jadi hari super sibukku.
Saat aku membantu dibagian dekorasi setting, mas Khalid mengirim sms.
‘Lagi sibuk ya,.! Jangan lupa makan siangnya.!’
Sms singkat yang membuatku tersenyum disaat lagi sibuk –sibuknya.

Sore harinya, temen – temen dan guru – guru pun mulai berdatangan. Rasanya usaha ini sudah pada puncaknya. Ustad Imron memulai tausiahnya setelah usai mengaji atau syuro. Tema tausiah favoritku “Wanita juga pantas Bahagia”. Ustad imron emang paling bisa, kata–katanya bak pujangga ternama.. menghanyutkan setiap pendengarnya termasuk aku. “Kelebihan kaum hawa adalah kekuatan rasa. Cinta yang dipupuk dengan air keimanan merupakan modal kesuksesan dunia akhirat. Perempuan kaya akan keindahan lahir batin. Perempuan juga paing berpeluang dalam meretas jalan keindahan menuju Tuhan. Saat mereka terlebih dahulu merasakan kehadiran cinta Allah di lubuk hati yang suci. Sehingga Tuhn hadir disetiap desah nafasnya dan detak jantungnya. Itu semua karena cinta yang agung.” Duhai indah kata–kata itu, yang alhamdulillahnya sempat kucatat.

Mendengar itu semua, aku jadi teringat akan perasaanku yang lama–kelamaan menjadi istimewa kepada mas Khalid, harusnya tidak seperti itu. Aku tidak mau menyimpan perasaan istimewa pada laki–laki yang belum halal bagiku. Aku tidak mau perasaan yang harusnya halus suci ternodai oleh prasaan haram tiada bertuan. Aku ingin memupusnya.

Akhir–akhir ini, aku disibukkan dengan jadwal les yang seabreg, ya benar saja beberapa bulan lagi, Ujian Akhir Nasional SMP akan dilaksanakan. Les di sekolah juga ikutan bimbel di rumahnya mbak Amy. Tiada kata istirahat.
“Adel udah makan?” Tanya ayah.
“Belum, tanggung nih, tinggal beberapa soal lagi. Nanti kalo’ dah selese baru Adel makan.” Jawabku sambil mengerjakan soal.

Jam dinding menunjukkan pukul 11.30, karena keranjingan jawab soal akhirnya aku lalai mengerjakan shalat isya’ juga lupa makan. Selepas shalat isya’ ku pandangi layar ponsel Nokia 1600 Classic warna hitam milikku sendiri lho! Tak ada pesan ataupun miscall, sangat sepi! Aku pun melanjutkan mengerjakan soal.
Sore sepulang les Matematika di sekolah, Husna dan Dian mengajakku makan Bakso di warung perempatan. Dan ternyata, disana sudah ada pak Oji’, salah satu guru favoritku di sekolah. Hmm.. betapa nikmatnya bakso perempatan yang telah melewati kerongkonganku, dengan penjual yang sama dan juga resep yang sama, tak ada yang istimewa! Selain hadirnya pak Oji’.
Dua puluh menit sudah kami berada di Warung bakso, hujan sepertinya akan terus menghiasi petang yang penuh pesona. Ku telpon Ummi.
“Ummi, kaya’nya Adel magribnya di Masjid deh.. hujannya masih lebat gini!”
“Iya udah,. Kalo’ ujannya udah berhenti segera pulang ya.!”
Aku pulang pukul 6.48, hampir isya’. Di rumah aku begitu terkjeut ketika ayah menanyakan hal yang coba ku sembunyikan, ya.. ayah menanyakan tentang mas Khalid!
“Adel suka sama Khalid?” Tanya Ayah dalam.
“Ayah nanya apaan sih, gak penting!” jawabku mengelak.
“Terus, foto Khalid yang ada di binder-mu itu maksudnya apa?”
Ternyata ayah tau tentang foto itu. Foto mas Khalid yang dikirim lewat Bluetooth yang sempat ku print-out.
“M.. Adel kan Cuma kagum aja Yah!” jawabanku masih mengelak.
“Adel, kagum, suka, boleh–boleh aja! Tapi gak kayak gitu juga.. Adel tau kan kalo di dalam keluarga kita aturannya kaya’ gimana? Dalam agama juga telah diterangkan bagaimana cara kita menghadapi perasaan seperti ini, Adel sadar gak sih, kalo perasaan Adel tu perasaan yang belum halal.”

Aku tahu, dari kata–kata Ayah yang panjang lebar maksud Ayah tak ingin aku memiliki kedekatan yang masih belum boleh dengan seorang laki–laki. Aku sebenernya juga pengennya seperti itu. Entah bagaimana caranya, ini meyangkut perasaan!
Hari–hari berikutnya ku coba fokuskan diri untuk belajar, persiapan berperang melawan semua “Prajurit Soal Un” yang siap menghadang dan menerjang yang lemah kalau tidak siap. Semua apapun itu, berawal dari diri pribadi. Memang benar adanya.
Tuhan emang paling bisa aja membolak–balikkan hati dan perasaan manusia. Ku teguhkan diri untuk menutup semua pintu–pintu hati yang telah terbuka. Aku sadar sebenarnya itu adalah perasaan yang wajar untuk remaja putri yang tengah masa puber sepertiku. Tapi perasaan itu hanya akan membawa kebhagiaan semu yang masih belum jelas nampak statusnya apakah itu halal ataukah haram.

Betapa meruginya akhwat yang sudah memalingkan hatinya kepada seorang laki–laki yang belum tentu halal baginya, sedang hati untuk Sang pencipta dibagi separuhnya. Cinta yang hakiki adalah cinta tuhan terhadap hambanya, sebagai seorang hamba tentu kita akan saling berlomba – lomba merebut cinta kasih Allah SWT.

Perasaan yang tak Halal yang ku rasa kepada mas Khalid dan Pak Oji’ bukanlah suatu kekeliruan melainkan proses belajar bagaimana menjadi kekasih Allah sesungguhnya,. Aku sungguh menyesal, aku tidak berhasil melewati ujian ini. Getar Tuhan tersembunyi oleh kekdahsyatan Getar Cinta yang memang mudah terbaca. Cukup ini saja dan tak untuk kesekian kalinya. Aku ingin menjadi seperti ibunda Rabbiah Al- Adaweeya yang menyerahkan seluruh cintanya hanya teruntuk Allah semata, dan dari rahimnya pula melahirkan insan–insan yang mengajarkan indahnya Mencintai karena Allah.

Bunga Yang Merajut Asa




Leave a Reply.

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    February 2013

    Categories

    All